Selasa, 22 April 2008

Metal Moeslim Selembar Kisah,.....

APRIL 2004,
Awal perjalananku menembus "benteng Metal",..

Aku menatap jasadku yang lunglai,...
ya Allah,... aku tak berdaya menghadapi ujian-Mu,...

Seandainya aku dulu sempat berguru kepada Nabi Ayyub AS, tentulah aku berguru kepadanya dengan doanya yang maha indah; .........
"Ya Allah, ambillah semua yang ada padaku, tapi sisakanlah dua perkara; akalku dan lidahku. Akalku jangan Kau ambil, agar aku selalu mengingatMu dan jangan kau ambil pula lidahku agar aku senantiasa memujiMu,....."

Andaikata aku hidup di jaman Rasulullah, tentu aku tidak akan berkeluh lapar, karena aku tahu, beliau adalah orang yang paling pandai menyembunyikan rasa lapar, bahkan sampai-sampai beliau harus mengganjal ikat pinggangnya dengan batu untuk menahan rasa lapar yang teramat sangat.

Andaikan aku sempat mengabdi kepada Kholifah Umar bin Abdul Aziz, tentulah aku mendapatkan ilmu zuhud, yang sama sekali tidak akan tergoda dengan gemerlapnya dunia.
Tentu aku dapat menghayati bagaimana beliau merasakan kenikmatan percintaannya dengan-Mu,

Kholifah Umar memiliki kekuatan untuk mengatakan bahwa jubah seharga 6 dirham yang ia kenakan pada waktu menjabat sebagai Kholifah, lebih ia cintai daripada jubah seharga 600 dinar pada waktu ia menjadi Gubernur Manidah,...
Tentulah aku akan mendapatkan sari pati dari ajaran beliau yag penuh kesederhanaan dan ketaatan.

Andai saja aku sempat bertamu ke beranda Syayidina Ali RA, tentulah aku telah menghiasi dadaku dengan semangat baja, semangat Assadullah yang tidak pernah kalah selama berperang bersama Rasullullah.,...

Aku terlahir sebagai seorang dho'if yang fakir ilmu,..
dan tak jarang aku marah atas ujian yang Allah berikan padaku,..

Aku tersenyum menengadah kelangit, mencari-cari kekuatan yang masih tersisa di jasadku. Aku telah remuk redam, luluh lantak, dan seakan hanya sampai disini saja perjalanan hidupku.

Sore itu, langit kelam,
hari ini aku berkabung, aku harus menerima kenyataan, bahwa semua cita-citaku kandas
langit bagaikan murka, meruntuhkan bebatuan disekujur tubuhku,
langkahku; patah
hatiku; patah
semangatku; padam
hari-hariku laksana menanti maut
hancur,... musnah,..
semua impian berserakan
tak punya arti,..
oh Tuhan, betapa nistanya hidup ini,...

Jogja,
aku mendesah,..
kota yang kucintai,.. sampai disini saja kebersamaan kita
aku harus mengakui keangkuhanmu.
aku harus pergi jauh membawa semua kegagalanku
semua lukaku,
kau begitu perkasa mengunci kekuatanku,....
suatu hari nanti kita pasti bertemu lagi,..
selamat tinggal kotaku tercinta,...


Menggapai Sebuah Impian,
Melupakan Sebuah Impian,..


Aku tidak dapat mewakilkan dengan kata-kata, bagaimana perasaanku pada waktu itu. Tahun ini aku terhempas badai, seuanya harus selesai sampai disini. Harus ku terima itu semua sebagai takdir ilahi, bahwasanya hidup memang hanyalah sebuah episode dari skenario-Nya.

Aku meninggalkan Jogja, Desember 2003 dengan predikat pecundang dipundakku. Tidak tersisa sama sekali kekuatanku, ketangguhan, dan kegaranganku, ketika harus menghadapi cobaan dalam waku yang bersamaan,...

Aku hanya bisa berdesis,,... Ya Allah, semoga Engkau memandangku dengan cinta,..

Aku roboh, dan tak mampu bangkit dari keterpurukanku,..
Ya Tuhan,.. tunjukkanlah jalan-Mu,
jalan yang Engkau Ridhoi,...

hanya itulah kata-kata terakhir yang mampu kuucapkan mengiringi keputusasaanku,..

Januari - akhir Maret 2004
Bengkulu,..

Harus kujalani kejenuhan ini dengan segala keterpaksaanku. Pulang ke Kota lama, tempatku menghabiskan masa remajaku. Tempat yang menjanjikan kesepian dan kesendirian.

Aku pulang kerumah orang tuaku,..
membawa serta semua kegagalanku, yang sama sekali tidak pantas kubanggakan
Aku benci diriku!

Bapakku, sakit keras, terkena serangan stroke, dan sudah hampir lumpuh total. Ibuku juga sudah semakin tua dan senakin sering sakit-sakitan, apalagi harus merawat bapak yang semakin hari kondisinya tidak juga membaik.

Aku sendiri datang dalam keadaan luluh lantak, membawa segumpal dendam dan rasa frustasi yang meradang. Semua ini harus ku jalani,.... terlalu berat untuk ku kiaskan dengan kata-kata bagaimana aku harus menghadapi situasi dirumah, semua serba memilukan,..

Dua bulan sudah, tidak terasa,...
Aku mulai jenuh berada dirumah orang tuaku.
Tenu saja aku tidak mungkin bertahan dalam diam dan kecamuk ini. Aku harus mampu merubah suasana hatiku dan membangun kembali langkahku,... Bismillah,..


Aku mendapatkan informasi alamat "Pondok Metal"

Aku ingat,
didalam dompetku aku pernah menyelipkan selembar potongan koran bekas bungkus makanan, Disana ada potongan artikel kecil berjudul: "Pondok Metal, Bengkel Manusia Rongsokan," dan ada potongan kecil gambar KH. Abubakar Cholil, yang masih berkucir.
ya, aku ingat sekali, ada foto kyai Metal!

Malam itu, dengan uang Rp. 5000,- pemberian ibuku,..
Aku pergi ke warnet, dan mulai mencari-cari artikel tentang pondok metal.
Akhirnyaketemu juga; Pondok Metal, alamatnya di Rejoso Lor Pasuruan Jawa Timur. Ada sedikit ulasan tentang keadaan santri-santri pondok Metal, berikut sedikit keterangan persyaratan untuk bisa mondok di Pesantren Metal.

Beberapa hari kemudian,...
Aku mengungkapkanniatku untuk menemui Kyai Metal kepada ibuku, lalu ibuku menyarankan untuk meminta izin kepada bapak.
Dalam kondisi bapak masih sakit, aku mencoba pamit dan meminta restunya, tapi yang kudapati justru sangat memilukan. Bapak menitikkan air mata, seakan-akan tidak rela melepasku pergi.

Aku menghela nafas,.. menenangkan diri.
lain hari aku akan berusaha membujuknya, tekadku sudah bulat, aku harus bertemu dengan "Kyai Metal".





Tidak ada komentar: